“Entah mengapa rasanya sesunyi ini
Walaupun aku tau sendiriku tak benar-benar sendiri
Namun tanpamu hidupku seakan tak ada arti lagi
Iya, aku anggap aku sendiri, aku janji hanya kali ini
Sebab aku tau waktu lambat laun akan berlalu pergi
Mengatakan selamat tinggal dan tak akan kembali
Memberikan jarak terjauh antara engkau disana dan aku
disini
Kenangan apapun tentangmu mengapa selalu menggores
hati?
Padahal kau pula yang teratas dalam membahagiakanku
kini
Aku berharap tak akan menamakanmu “Yang Telah Hilang”
Tapi yang terjadi, aku telah menamakanmu, seperti itu”
Farah, 10 Tahun
Di
pagi hari yang tidak secerah biasanya, mengeluarkan rerintik gerimis yang
menghujani pekarangan kecil sebuah rumah, kaki mungil seorang anak perempuan
berlari kearah seorang lelaki sambil tertawa riang, terjatuh ke dalam pelukan
hangat seorang ayah, sepertinya sangat dirindukan. Ayah Farah, memeluknya
dengan erat, wajahnya memucat setiap menit yang berlalu, seakan ada yang ingin
disampaikan namun tertahan karena tak ingin menghapus tawa di wajah Farah.
Perempuan
kecilnya itu tiba-tiba terdiam dan menatap kearah ayah tercintanya, dengan
polosnya ia menaruh tangan kecilnya ke kening ayahnya.
“Daddy, daddy tidak panas tapi kok pucat dad?”
“Tidak apa-apa Farah, Daddy hanya kurang tidur
semalam, bagaimana mimpimu tadi malam?”
“Seperti biasa Daddy, otakku berpuisi lagi dalam
kegelapan, but I’m so scared Dad”
“Apa yang harus kamu takutkan selagi ada ayah, huh?”
“Benarkah aku tak perlu takut? Apa kau akan hidup
kekal Dad?”
“Haha, aku akan menjadi super heroes untuk Farah
kecilku”
“Ish ayah, Farah sudah besar tau! Umurku sudah tidak
satu angka lagi”
“Benarkah anak perempuan Daddy sudah menjadi gadis?
Apa kau sudah siap ayah carikan pendamping?”
“Oh tidak ayah, aku masih ingin memelukmu erat, cukup
kau saja lelaki terbaik untukku saat ini, ai lap yu”
“ai lap yu tu, and your mummy”
“Of course!”
Percakapan mereka di akhiri dengan tawa bersama, namun
ibu Farah memecah keheningan dengan langkahnya yang cepat dengan sebuah plastik
dan botol air mineral di tangannya. Ia tidak menghiraukan Farah, tetapi
langsung menghambur mendekati ayah Farah yang ternyata sembari menghibur gadis
kecilnya, sembari memegang erat dadanya.
“Sayang, di minum
aku mohon”
“Tak
usah, bu… Sudah waktunya, aku gapapa”
“Aku
ga mau kamu tersakiti terus, itu juga sakit buatku”
“ssstt,
ira… iya, aku minum, ajak Farah ke…”
Belum
selesai kata-kata ayah Farah terjelaskan, tubuhnya terjatuh pingsan di depan
Farah dan ibunya, terlambat. Farah memukul-mukul lengan ayahnya sembari
bertanya “Ayah kenapa?” dengan berkali-kali. Sedangkan ibu Farah menelpon
ambulance, berharap ada keajaiban saat dokter telah memeriksa suaminya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar