Rio kecil mendekati Bu Ajeng
dengan sedikit malu-malu, tersenyum kecil tanda ingin dan juga matanya yang
melihat kearah cemilan sudah Bu Ajeng hafal luar kepala, semua anak kecil jika
sangat menginginkan sesuatu mimiknya sangat lucu. Seperti tak ada habisnya
senyum Bu Ajeng, ia tersenyum dan menunjukkan tangannya kearah piring cemilan
juga susu, memberi tanda untuk mempersilahkan Rio kecil mengambilnya. Dengan
malu dan dibalas senyum kecil juga, Rio mengambil susu plus cemilan dan duduk
di sebelah Bu Ajeng.
Aira yang melihat ibunya dan Rio
saling berbalasan senyum terlihat cemberut dan masam, dari kejauhan ia berlari
kecil dan menghamburkan diri kedalam pelukan ibunya, Bu Ajeng keheranan dengan
tingkah putri tunggalnya satu ini, tangan halusnya menyibak poni putrinya.
“Kenapa Ai? Awas jatuh main nubruk begitu, malu ih sama Rio peluk-peluk ibu
begini” Alih-alih melihat Rio, Aira malah membenamkan wajahnya ke perut ibunya,
sepertinya anak kecil satu itu iri karena barusan Rio dimanja oleh ibunya. Bu
Ajeng hanya tertawa melihat tingkah Aira, sedangkan Rio menyesap habis susu
cokelatnya.
Di tempat lain, ayah Aira sedang
sibuk bekerja di kantor, tidak seperti biasanya hari itu terasa sangat
melelahkan dikarenakan seorang ‘nenek lampir’ –klien ganas- memprotes pekerjaan
salah satu karyawan ditempat ia bekerja, akhirnya seluruh divisi perusahaan
diminta berkumpul dan mengevaluasi kinerja selama semester kebelakang. Membuat
laporan sangat melelahkan pikiran dan juga fisik, tangan Pak Seno tak henti
mengetik dan menerjemahkan kata demi kata yang ada di dalam pikirannya,
sesekali ia melihat jam dan juga melihat pigura kecil berisi foto Bu Ajeng dan
juga Aira. “Demi kamu berdua, aku bertahan di pekerjaan halal ini, walaupun
nggak seberapa, yang penting makan kalian dan pendidikan Aira terpenuhi”
batinnya bergumam.
Suara sepatu vantoufel berdecak
dari kejauhan terdengar sampai ruangan Pak Seno, ringan namun terburu-buru. Pak
Seno yang merupakan Manager HRD di perusahaan tersebut merasa bertanggung jawab
atas kesalahan yang karyawannya perbuat, melihat seorang lelaki mendekati
ruangannya membuatnya gugup, sekretaris direktur membanting pintu ruangan Pak
Seno dengan wajah agak pucat pasi. “Pak Se…” belum selesai lelaki itu memanggil
Pak Seno, tangan Pak Seno sudah ada di depan wajahnya, menunda percakapan,
sepertinya ia tau bahwa si nenek lampir itu datang dan meminta bertemu
direktur. “Nenek lampir itu?” tanya Pak Seno, sekretaris direktur itu hanya
mengangguk tanda setuju, keringat dingin mengalir dari dahinya. “Biar aku yang
tangani” jawabnya dengan santai, namun sebelum Pak Seno melangkah keluar dari
ruangannya, tangan sekretaris direktur itu mencegah ia keluar. Mata Pak Seno
menatap padanya seperti bertanya ‘Ada apa lagi?’, sekretaris itu pun
mendekatkan bibirnya kearah telinga Pak Seno. “Tadi dari rumah sakit menelepon
ke kantor pak, istri bapak terjebak dalam kebakaran dirumah bapak, saya tidak
tau pasti kronologis kejadiannya, lebih baik bapak segera ke rumah sakit, nenek
lampir itu biar saya dan karyawan HRD lain yang tangani”
Terpaku sejenak, kebingungan
harus berbuat apa, kenapa bisa sampai kebakaran? Tanyanya dalam hati. Lalu
dengan tergesa-gesa, Pak Seno langsung menuju ke arah rumah sakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar