Rabu, 10 Mei 2017

Saya - 8

Rio kecil mendekati Bu Ajeng dengan sedikit malu-malu, tersenyum kecil tanda ingin dan juga matanya yang melihat kearah cemilan sudah Bu Ajeng hafal luar kepala, semua anak kecil jika sangat menginginkan sesuatu mimiknya sangat lucu. Seperti tak ada habisnya senyum Bu Ajeng, ia tersenyum dan menunjukkan tangannya kearah piring cemilan juga susu, memberi tanda untuk mempersilahkan Rio kecil mengambilnya. Dengan malu dan dibalas senyum kecil juga, Rio mengambil susu plus cemilan dan duduk di sebelah Bu Ajeng.

Aira yang melihat ibunya dan Rio saling berbalasan senyum terlihat cemberut dan masam, dari kejauhan ia berlari kecil dan menghamburkan diri kedalam pelukan ibunya, Bu Ajeng keheranan dengan tingkah putri tunggalnya satu ini, tangan halusnya menyibak poni putrinya. “Kenapa Ai? Awas jatuh main nubruk begitu, malu ih sama Rio peluk-peluk ibu begini” Alih-alih melihat Rio, Aira malah membenamkan wajahnya ke perut ibunya, sepertinya anak kecil satu itu iri karena barusan Rio dimanja oleh ibunya. Bu Ajeng hanya tertawa melihat tingkah Aira, sedangkan Rio menyesap habis susu cokelatnya.

Di tempat lain, ayah Aira sedang sibuk bekerja di kantor, tidak seperti biasanya hari itu terasa sangat melelahkan dikarenakan seorang ‘nenek lampir’ –klien ganas- memprotes pekerjaan salah satu karyawan ditempat ia bekerja, akhirnya seluruh divisi perusahaan diminta berkumpul dan mengevaluasi kinerja selama semester kebelakang. Membuat laporan sangat melelahkan pikiran dan juga fisik, tangan Pak Seno tak henti mengetik dan menerjemahkan kata demi kata yang ada di dalam pikirannya, sesekali ia melihat jam dan juga melihat pigura kecil berisi foto Bu Ajeng dan juga Aira. “Demi kamu berdua, aku bertahan di pekerjaan halal ini, walaupun nggak seberapa, yang penting makan kalian dan pendidikan Aira terpenuhi” batinnya bergumam.

Suara sepatu vantoufel berdecak dari kejauhan terdengar sampai ruangan Pak Seno, ringan namun terburu-buru. Pak Seno yang merupakan Manager HRD di perusahaan tersebut merasa bertanggung jawab atas kesalahan yang karyawannya perbuat, melihat seorang lelaki mendekati ruangannya membuatnya gugup, sekretaris direktur membanting pintu ruangan Pak Seno dengan wajah agak pucat pasi. “Pak Se…” belum selesai lelaki itu memanggil Pak Seno, tangan Pak Seno sudah ada di depan wajahnya, menunda percakapan, sepertinya ia tau bahwa si nenek lampir itu datang dan meminta bertemu direktur. “Nenek lampir itu?” tanya Pak Seno, sekretaris direktur itu hanya mengangguk tanda setuju, keringat dingin mengalir dari dahinya. “Biar aku yang tangani” jawabnya dengan santai, namun sebelum Pak Seno melangkah keluar dari ruangannya, tangan sekretaris direktur itu mencegah ia keluar. Mata Pak Seno menatap padanya seperti bertanya ‘Ada apa lagi?’, sekretaris itu pun mendekatkan bibirnya kearah telinga Pak Seno. “Tadi dari rumah sakit menelepon ke kantor pak, istri bapak terjebak dalam kebakaran dirumah bapak, saya tidak tau pasti kronologis kejadiannya, lebih baik bapak segera ke rumah sakit, nenek lampir itu biar saya dan karyawan HRD lain yang tangani”


Terpaku sejenak, kebingungan harus berbuat apa, kenapa bisa sampai kebakaran? Tanyanya dalam hati. Lalu dengan tergesa-gesa, Pak Seno langsung menuju ke arah rumah sakit.

#30dwcday29 #squad8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar