Dalam
sekat-sekat waktu yang sendu, terkadang aku duduk termangu sendiri di depan
teras rumah
Pandanganku
kosong tanpa arah dan tujuan, mengetahui seorang yang tak ada adalah muara dari
segala penyebab kekosongan ini, lebih pahit dari kopi tanpa gula ataupun pare
tanpa garam
Sesekali
bulir air mata menetes menuruni gurat wajahku yang terbentuk karena lelahnya
melewati waktu
Aku
bersyukur karena aku masih bisa menangis, untuk mengobati segala lara dan pula
menandakan bahwa hatiku belum mati, masih ada secercah harapan dalam lubuk yang
paling dalam di sela-sela hatiku
Sebuah
resah membuat luka menganga yang perihnya luar biasa mengoyak hati dan pikiran,
keresahan yang seperti apa memangnya?
Keresahan
akan berlarut-larut dalam sebuah kesedihan karena kehilangan seorang makhluk
yang diciptakanNya
Oh
tidak… Hinakah aku bersedih karena duniawi?
Lalu
aku teringat akan sesuatu
“La Tahzan, Innallaha Ma’ana” (Jangan bersedih, Allah
bersama kita)
Sepenggal
kalimat yang menjadi penyadarku bahwa aku tidak boleh bersedih lagi, karena aku
memilikiNya
Sebelum
Dia yang menyadarkanku akan kesedihan yang menduakanNya, aku ingin sadar
sendiri dan mencapai keimanan yang lebih baik lagi di kemudian hari
#30DWCJilid4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar