Rabu, 01 Maret 2017

Sadar Sebelum di-Sadarkan - #30DWCHari28

Dalam sekat-sekat waktu yang sendu, terkadang aku duduk termangu sendiri di depan teras rumah

Pandanganku kosong tanpa arah dan tujuan, mengetahui seorang yang tak ada adalah muara dari segala penyebab kekosongan ini, lebih pahit dari kopi tanpa gula ataupun pare tanpa garam

Sesekali bulir air mata menetes menuruni gurat wajahku yang terbentuk karena lelahnya melewati waktu

Aku bersyukur karena aku masih bisa menangis, untuk mengobati segala lara dan pula menandakan bahwa hatiku belum mati, masih ada secercah harapan dalam lubuk yang paling dalam di sela-sela hatiku

Sebuah resah membuat luka menganga yang perihnya luar biasa mengoyak hati dan pikiran, keresahan yang seperti apa memangnya?

Keresahan akan berlarut-larut dalam sebuah kesedihan karena kehilangan seorang makhluk yang diciptakanNya

Oh tidak… Hinakah aku bersedih karena duniawi?

Lalu aku teringat akan sesuatu

“La Tahzan, Innallaha Ma’ana” (Jangan bersedih, Allah bersama kita)

Sepenggal kalimat yang menjadi penyadarku bahwa aku tidak boleh bersedih lagi, karena aku memilikiNya


Sebelum Dia yang menyadarkanku akan kesedihan yang menduakanNya, aku ingin sadar sendiri dan mencapai keimanan yang lebih baik lagi di kemudian hari

#30DWCJilid4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar